Monoteisme-Kebenaran-Toleransi BERAGAMA

DALAM sebuah artikel terkenal, Clifford Geertz pernah mencoba menganalisis hakikat agama dari sudut pandang antropologi budaya (dimuat dalam Interpretation of Cultures). Bila disederhanakan sedikit, usul definisi tentang agama adalah: suatu sistem simbol yang mengakibatkan pandangan dan motivasi yang amat realistis (uniquely realistic) bagi para pemeluknya.

Sifat realistis itu merupakan ciri khusus yang menandai agama. Karena itu, agama menyediakan motivasi kuat sekali untuk menempatkan kebenarannya di atas segalanya, bahkan di atas kehidupan sendiri. Sepanjang sejarah umat manusia, jumlah tak terhitung martir membuktikan kuatnya motivasi itu.

Suatu contoh adalah ketujuh martir Makabe dalam konteks agama Yahudi. Ketika oleh raja kafir diperintahkan melangkahi perintah Tuhan dengan makan daging babi yang haram, mereka menolak tegas dan tanpa ragu menerima kematian. Saat sudah hampir mati, seorang di antara mereka masih sempat berseru kepada raja yang menyuruh dirinya disiksa dan dibunuh: "Memang benar kau, bangsat, dapat menghapus kami dari hidup di dunia ini, tetapi Raja alam semesta akan membangkitkan kami untuk kehidupan kekal, karena kami mati demi hukum-hukum-Nya" (2 Mak. 7:9).

Dengan demikian, motivasi agama bisa membuat orang nekat menanggung penderitaan paling kejam, sampai kematian sebagai konsekuensi terakhir. Padahal, kebenaran agama dipercayai saja dan tidak dapat dibuktikan. Pemeluk agama juga tidak memiliki bukti-bukti yang masih tersembunyi untuk orang lain. Realitas agama didasarkan atas iman belaka, bukan atas yang kelihatan. Namun demikian, orang beragama sering lebih yakin tentang kebenaran agamanya daripada tentang banyak hal yang dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.

Sifat realistis agama, menandai perbedaan antara pelbagai agama. Di antara banyak agama yang ada, tiap agama yakin, dialah yang benar.

Yang bisa terjadi, orang bersikap tak acuh terhadap agama. Di dunia Barat hal itu kini semakin banyak disaksikan dalam konteks sekularisasi. Tetapi meski fenomena sekularisasi di situ kian luas, sikap keagamaan pun bertahan terus dan kadang pada taraf individual malah bertambah kuat. Meski demikian, dalam konteks kita di Indonesia dan di Asia Tenggara umumnya fenomena sekularisasi ini tidak begitu tampak.
Banyak masyarakat direpotkan dengan sifat realistis agama. Karena menganggap diri benar, agama lain dinilai salah atau-dengan bahasa keagamaan-kafir. Dari sejarah hingga kini, banyak konflik dan perang terjadi karena alasan agama.

Anak sekolah pun dapat menyebut beberapa contoh. Bila kita lihat lebih tajam, konflik-konflik semacam itu acapkali merupakan kejadian sosial yang amat kompleks karena meliputi pelbagai faktor sosial dan sejarah, tetapi faktor agama tetap memainkan peran eksplosif dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas itu.

Kerendahan hati

Jika kita berpikir lebih mendalam, pertentangan antara agama sulit dimengerti, khususnya dalam rangka monoteisme. Dalam keadaan politeisme, seperti dalam kebudayaan Yunani kuno, masih dapat dipahami bila pertentangan antara beberapa masyarakat diperkuat oleh agama. Sebab, setiap kota atau daerah di situ mempunyai dewa dan dewi sendiri. Dan, perkelahian antara dewa-dewa yang menurut mitologi Yunani banyak terjadi, mudah merambat ke kalangan manusia atau memperkukuh lagi pertentangan yang sudah terdapat di situ.

Namun, dalam rangka monoteisme, semua agama mengakui Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang satu itu juga sumber terakhir segala kebenaran. Ia memiliki kebenaran sepenuh-penuhnya. Para pemeluk agama selalu mendekati kebenaran untuk sebagian saja. Bagi mereka, kebenaran selalu bisa disesuaikan, selalu bisa dilengkapi. Tidak satu agama pun memegang monopoli kebenaran dan-kalau konsekuen-tidak boleh berpretensi memonopoli kebenaran. Kebenaran itu milik bersama untuk semua agama, yaitu sebagaimana terdapat pada Tuhan.

Pengetahuan manusia-termasuk pengetahuan keagamaan-mau tidak mau mempunyai banyak kekurangan. Bagi manusia selalu ada "faktor x", senantiasa timbul sesuatu yang tidak terduga dan tidak dapat diprediksi. Sebaliknya, bagi Tuhan tidak pernah mungkin terjadi kejutan. Tuhan adalah Maha Tahu. Pengikut agama pantas memiliki "kerendahan hati epistemologis", artinya kesadaran bahwa pengetahuannya serba terbatas.
Bila agama-agama monoteistis dengan demikian mengakui Tuhan yang satu dan sama sebagai Yang Maha Benar, yang memiliki seluruh kebenaran dengan sempurna, mereka harus mengakui Tuhan juga sebagai otoritas tertinggi yang mengatasi semua agama. Dalam perspektif ini, bukan saja agama lain mempunyai banyak kekurangan, tetapi juga "agama saya sendiri" selalu terbatas kebenarannya. Dengan demikian, langsung timbul toleransi sebagai keharusan alami.

Toleransi tidak harus dipraktikkan dengan terpaksa karena tidak ada jalan lain atau sebagai satu-satunya kiat taktis untuk mempertahankan perdamaian. Toleransi harus diterima dan dipraktikkan sebagai sikap prinsipiil. Alasannya, karena hanya Tuhan yang memiliki seluruh kebenaran. Pemilikan kebenaran oleh agama-agama serba tidak sempurna. Mungkin agama lain mempunyai unsur kebenaran yang tidak begitu dikenal "agama saya". Lebih banyak lagi unsur kebenaran tidak diketahui semua agama karena menjadi milik eksklusif Tuhan.

Pretensi sebuah agama memiliki seluruh kebenaran, meleset jauh dari kenyataan. Dalam konteks monoteisme, pretensi seperti itu adalah kesombongan yang tidak pada tempatnya.

Membuka diri

Hal itu tidak berarti bahwa toleransi sama dengan sikap tak acuh, seolah semua agama dianggap sama. Sebaliknya, toleransi bertolak dari kebenaran agamanya sendiri, tetapi serentak membuka diri untuk kebenaran yang lebih kaya. Orang harus mempunyai keberanian membuka diri dengan cara itu.

Orang beragama merasa ragu, bila harus mengakui tidak memiliki seluruh kebenaran. Tetapi tidak ada jalan lain daripada menerima saja ketidakpastian itu karena melekat pada kondisi seseorang sebagai orang beragama. Menolak segala ketidakpastian justru bisa berbahaya. Psikolog Swiss Carl Gustav Jung pernah menegaskan: fanatism is an overcompensated doubt, "fanatisme adalah keraguan yang mencari kompensasi berlebihan". Orang fanatik tidak tahan ketidakpastian. Karena itu, ia membuang jauh-jauh segala sesuatu dalam agamanya yang dapat diragukan.

Secara psikologis, fanatisme barangkali dapat dimengerti, tetapi dalam kenyataan ia hanya membuahkan penderitaan. Lebih baik orang beragama tetap mempertahankan sikap terbuka. Kalau begitu, ia tidak saja menjalin suasana toleran dengan segala keuntungan sosialnya, tetapi ia juga memberi kesempatan kepada dialog.

Kalau tidak ada satu orang beragama pun yang memiliki kebenaran secara mutlak, semua orang beragama sebenarnya "sedang terus mencari". Dialog antaragama tidak sekadar konsesi yang harus diberikan kepada pihak lain. Dialog bisa bermanfaat untuk semua pihak yang terlibat, karena akhirnya semua agama menimba dari Sumber Kebenaran yang sama, tidak mustahil agama satu dapat belajar dari agama lain.